Cinta Dalam Hati Liana

May 14, 2011

Hari ini tepat 7 tahun dalam penantian panjang Liana. selama 7 tahun lamanya ia tertatih mengejar mimpinya. Bertumpuk catatan diarynya yang menjadi sebuah rintihan dalam menggapai impiannya. Rasa malu, itu bak seperti cemilan yang selalu disantapnya disetiap pagi yang ditemani oleh cemoohan bak secangkir kopi baginya.

Di ruangan ini Liana mulai membuka kembali lembar demi lembar dari catatan yang telah dibuatnya. Sambil membaca tulisan tersebut, sesekali air matanya berlinang. Dengan tangan yang bergetar ia mulai menandai satu persatu mimpinya. Sesaat bibirnya bergetar ketika dia membaca sebuah nama pada catatannya.

Membaca nama itu membuatnya teringat akan seseorang dari masa lalunya. Nama itu adalah Reno. Reno adalah teman satu kelas Liana ketika duduk di bangku SMA. Sosok Reno memang menjadi special untuk Liana. Ketertarikan sosok Reno di mata Liana adalah sangat sempurna. Semua rasa ketertarikan Liana hanya disimpan dalam hati olehnya. Bahkan tak satu patah pun pernah Liana ucapkan untuk Reno. Tak ada kata hai, hello, apa kabar? dan sebagainya.

Sampai suatu saat dia mendapati bangku kosong di kelasnya. Bangku itu adalah milik Reno. Tak ada salam perpisahan bahkan senyum terakhir ketika itu. Semua terjadi begitu cepat untuk Liana. Satu hal yang selalu diingat oleh Liana adalah ketika Reno berbisik di telinganya pada hari perpisahan adalah "Aku titip senyum ya untuk seseorang" mendengar hal itu hati Liana seperti tertusuk tembaga panas yang tidak hanya merobek jantungnya, tapi juga membakar hatinya karena cemburu. Hatinya mulai bertanya-tanya “seseorang siapa?” Pertanyaan besar semakin menghantuinya ketika itu.

Saat ini dalam pembaringan Liana di rumah sakit dia hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi. Cinta pertama yang diimpikannya pergi tak kembali. Perbedaan jarak mulai memisahkannya dari mimpinya. Kata terlambat kini sudah tertanam di dadanya sejak satu bulan yang lalu ketika dia menghadiri acara reoni sekolahnya. Ia bertemu dengan sosok Reno yang selama ini dicintainya. Entah mengapa rasa keberanian itu tak juga muncul. Liana hanya bisa melihat Reno dari kejauhan. Sampai seseorang menghampiri Liana. Orang itu adalah Shinta, teman sekelas Liana ketika di kelas 1 SMA.

Dengan nada yang lembut Shinta menyapa Liana. Memberikan senyum lebar nan manis sambil mengulurkan tangannya. Kata "hai" berbisik kepada Liana. Shinta adalah gadis manis yang sangat populer ketika di SMA dulu. Walaupun pernah sekelas namun mereka memang tidak pernah main bersama. Entah mengapa hari itu Shinta mengenali Liana dan mereka sesekali berbincang.
" Kamu sibuk apa sekarang?" Tanya Shinta pada Liana.
"Aku sedang mengelola rumah makan kecil-kecilan Shin." Jawab Liana merendah.
"Ala ala ala, jangan gitu dong. Aku tahu kalau kamu sudah sukses sekarang. Oh iya, kapan ada rencana menikah? jangan sibuk-sibuk terus dong nanti lupa kewajiban lagi he..he;" Tanya Shinta sambil menggoda Liana.

"Belum Shin, aku belum mikir sampai ke situ. Btw kamu gimana sudah menikah sama pria tampan siapa nih?" Sahut Liana membalas menggoda.

"Aih, aku baru dua bulan menikah dengan pria tampan, mau undang kamu tapi gak tau menghubnginya kemana? Lagian pangeran tampannya kamu juga sudah tau kok."

"O ya? Siapa? Selamat ya Shin.. sorry telat tapi siapa sih? Jadi penasaran.."

"Mau tau? Itu loh cowok yang pake batik coklat yang berdiri di ujung." Jawab Shinta sambil mengarahkan jarinya kepada sosok pria yang dimaksudnya. Mendengar hal itu hati Liana bergetar. Nyeri di dada Liana seolah merenggut jantungnya keluar dalam tubuhnya. Melihat hal ini Liana hanya bisa terdiam menahan rasa sakit dan tangisnya.

"Inikah jawaban yang pernah Reno bisikkan pada ku? Mengapa aku bisa sesakit ini Tuhan? Apa yang harus aku lakukan Tuhan?" Ucap Riana dalam hati.

Shinta kemudian memanggil Reno untuk menghampiri mereka (Liana dan Shinta) dengan sebutan yang membuat hati Liana semakin sakit. Dengan kaki bergetar Liana mencoba untuk menguatkan jejaknya agar tidak terjatuh. Topangan kaki yang mulai tak kuat menahan tubuhnya membuat Liana harus menyandarkan tubuhnya ke tembok dekat dia berdiri. Sesaat Reno menghampiri dengan wajah yang berbinar dan senyuman manisnya.

"Hai." Ucapa Reno pada Liana yang tak langsung mendapat respon dari Liana.
"Apa kabar? Kamu masih ingat aku kan?" Ucap Reno lagi. Dan dengan nada terbata-bata Liana menjawab "Hai, aku baik."

Kemudian Shinta meminta izin untuk ke toilet dan meninggalkan Reno dan Liana berdua untuk berbicara. Namun hal itu tak membuat Liana merasa nyaman. Dadanya semakin merasa sesak, jantungnya seolah berhenti untuk berdetak dan sendi-sendinya seolah kuat untuk menopang keakinya. Kebisuan terjadi di antara mereka. Sampai akhirnya Liana mencoba memecah kesepian dengan mengucapkan selamat kepada Reno.
"Selamat ya." Ucap Liana pelan.
"Selamat untuk apa?" Jawab Reno.
"Selamat atas pernikahan kamu." Jawab Liana seraya menjelaskan.
"Iya terima kasih ya." Jawab Reno.
"Ternyata Shinta seseorang yang kamu titip senyum itu." Ucap Liana sedikit menggoda Reno.
"Hmm." Ucap Reno yang hanya berdehem dan terdiam seketika.
"Bukan Li, seseorang itu bukan Shinta."
"Oh, maaf aku fikir Shinta, tapi kamu cocok ya sama..." Ucap Liana yang terpotong oleh ucapan Reno.
"Kamu Li, kamu orang yang aku titip senyum." Ucap Reno.
"Maksud kamu apa Ren? Aku gak ngerti!"

"Dari dulu aku selalu ingin lihat senyum kamu, ingin nyebut nama kamu. Ingin bisa ada di dekat kamu dan berbicara sama kamu. Maaf mungkin semua terlambat tapi aku gak mau menyesal. Jujur aku sebenernya cinta sama kamu Li. Tapi entah kenapa setiap aku mendekat kamu seolah menjauh dari aku. Aku gak pernah tau apa itu cinta dan aku tidak pernah mau tahu tentang itu. Aku hanya tahu aku sayang sama kamu, aku cinta kamu dan aku ingin kamu bahagia. Aku tidak perlu jawaban cinta dari kamu karena ini bukan pertanyaan yang untuk kamu jawab dan aku harus tahu jawabnya, melainkan ungkapan hati aku yang udah lama ingin aku ungkapkan."

"Gak mugkin Ren, jangan pernah mengasihani aku karena aku bukan orang yang patut untuk kamu kasihani. Aku gak ngerti cinta apalagi cinta kamu. Aku gak akan ngerti dan gak akan pernah mau mengerti. Please jangan pernah kamu permainkan aku dengan rasa iba kamu ke aku. Aku bukan fakir cinta yang mengharapkan belas kasihan untuk dapat kamu sedekahi dengan cinta palsu kamu. Kalau kamu ingin beramal cinta, itu bukan sama aku Ren." Ucap Liana dengan nada tegas.

"Aku cuma gak mau menyesal Li, ini ucapan selamat tinggal terakhir aku karena mungkin besok, lusa atau satu jam setelah ini aku gak akan pernah lihat kamu lagi untuk selamanya. Setidaknya aku sudah menggungkapkan kalau aku mencintai kamu." Jawab Reno seraya menegaskan, tapi Liana tidak memperdulikan dan hendak beranjak untuk pergi.

Ketika Liana hendak berangkat pergi, Shinta memegang tangan Liana dan berkata.
"Li, kenapa sih lu terus lari dari kenyataan. Apa karena lu merasa gak cantik makanya lu bisa sombong. Gw fikir lu orang yang tepat untuk dapetin cinta Reno, ternyata gak ya. Hati lu sama muka lu masa busuknya. Elu emang gak pantes dapet cinta karena lu sombong!" Tegas Shinta pada Liana.

“Bukannya kalian suami istri? Tapi kenapa lu dukup suami lu untuk mencoba selingkuh hati sama lu Shin? Apa yang harus lu jawab kalau ada seorang pria beristri bilang cinta sama lu? Apa lu akan bilang, oh Reno ternyata lu romantic ya? Oh gw dah tau kok Ren kalau lu suka sama gw dan kapan kita merit? Oh ya udah kapan lu bisa tinggalin Shinta untuk merit sama gw? Apa itu yang mau lu denger?” Mendengar ucapan Liana Shinta semakin berang dan ‘PRAK’ sebuah tamparan mendarat diwajah Liana. Tamparan itu berasal dari tangan Shinta yang lembut sambil berkata.

“Ternyata lu emang gak pantes dikasihanin bahkan dicintain! Mulut lu ternyata lebih ancur dari muka lu ya, oh sekarang gw tau, lu ngerasa gede rasa ya? Mending lu ngaca deh! Tapi gw rasa kaca juga ogah liat muka jelek lu! Gw kasih Reno kesempatan untuk bisa nyelesaian masalah hatinya sama lu karena gw pengen diwaktu yang akan datang, setelah hari ini dia bener-bener bisa ngelepasin lu! Dan dia akan sepenuhnya mencintai gw! Gw kasih dia kesempatan untuk ungkapin rasa sukanya sama lu, karena gw gak mau dia nyesel seumur hidupnya. Setidaknya kelak dia gak terus-terusan nangisin kuburan lu Li! Gw tau sekarang lu lagi berjuang untuk hidup. Gw pengen ada kenangan manis untuk lu selama hidup. Tapi ternyata lu malah buang kenangan itu. “

Mendengar ucapan Shinta, Liana hanya bisa menangis terisak keluar dari ruang itu. fikirannya penuh dengan rasa taku dan rasa bersalah. Penderitaan karena sakit leokimia tak membuatnya menjadi orang yang tegar. Sering kali dia marah pada kenyataan yang membuatnya sombong.

Hari ini dalam pembaringannya di rumah sakit dia hanya bisa terdiam meratapi kesedihannya karena kesombongan hatinya. Kini dia dapat mengakhiri cerita tentang impiannya pada diary kecil yang selalu menemaninya dengan ending yang manis. Penantiannya terbalaskan walau tidak bersama dengan orang yang ia cintainya. Setidaknya ia tidak hanya menyimpan cintanya hanya dalam hatinya saja.






You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook